Embun Kaki Nirwana
Hembusan
belai lembut hawa kaki angkasa, meyapa wajah yang kini lupa cara untuk bahagia,
semua memori tentang dia terngiang di seluruh rongga jasad yang lelah, setelah
perjalanan panjang dari kaki pegunungan meratus.
⸙⸎⸙
Pagi itu bukan lagi pagi yang biasa aku temui, semua niatku pergi untuk
menghapus perih, hanya asa yang seakan fatamorgana dalam renungan, yang nyata
di depan mata hanya senyuman lamanya, seakan lintah yang menempel dalam jiwa
dan terus menghisap bahagia.
Kamu, kamu, dan kamu seakan hidupku tergantung pada senyummu, erat
genggammu kini kembali terasa saat aku pandangi suasana di sela kaki nirwana.
Hangat telapak tanganmu masih tersisa setelah asa menghilang ditelan masa,
denyut nadi yang dulu menjamah sidik jari kini kembali lagi menggetarkan hati,
rindu tak menentu menjadi jalan setapak menuju puncak.
Puncak bukan lagi alasan untuk kepuasan hasrat pendakian, karna disela rindang
hutan hujan kutemukan senyuman yang dulu sering aku dapatkan, ingin aku
beranjak pulang namun tidak memungkinkan karna alasan-alasan kerinduan yang tak
bisa kusebutkan dengan lisan.
Dan akhirnya aku sampai di puncak kerinduan dengan segala alasan yang
memaksakan kaki untuk terus melangkah walau hasrat menyerah kian merekah.
Puncak Halau-Halau yang kini sudah terlampau, adalah sebuah kebanggaan bagi
setiap pendaki, dia lah yang tak segan tuk merenggut nyawa para pengejar awan
sunyi, namun bagiku dia adalah puncak sang perenggut mimpi.
1901 Meter
di atas permukaan laut, bukanlah ketinggian yang membuatku takut, karna
kehilangan eratmu lebih menakutkan bagiku.
⸙⸎⸙
Jingga, hanya dia sang pemberi hangat dalam luka, sudah
kupaksakan yang hitam-hitam itu tenggelam, tak perlu aku lampiaskan pada
seseorang, tak perlu aku luapkan kemarahan pada mereka yang diam seakan tak
ingin mendengarkan ucapan dari hatiku yang selalu terhujam. Tak perlu lagi aku
memberi hukuman pada aksara cinta yang terukir dalam jiwa, yang selalu memaksa
raga tuk mencari cinta setelah luka. Aku fahami dan aku nikmati segala lara dan
menjadikannya surga didalam hati yang lupa cara untuk bahagia. Aku pelajari
setiap pola kesalahan yang pernah aku lakukan yang itu membuat kau beranjak
dari cinta yang begitu cahaya.
Aku sampai di titik keikhlasan, atap dari tiap nestapa, berdamai dengan
rasa dan mulai menjadikannya kata-kata. Selama ini aku tak punya tempat untuk
berucap, telinga mereka tak pernah iba dengan hati yang kian menderita, aku
menuliskan kata demi kata dengan separuh tangis yang tak kuasa aku teteskan
selama ini, emosi kian menjadi-jadi saat jemari menari-nari.
Kalian yang sedang membaca tulisan ini, terima kasih telah menemaniku dalam
sepi, terima kasih sudah berada di titik ini bersama perasaan dan jiwa yang
terlupakan.
Sejujurnya aku menulis hanya untuk menangis, itulah kenapa aku selalu
berterima kasih pada kalian para pembaca. Tulisanku mungkin seakan tak punya
intisari, ini hanyalah senandika dari rasa yang tak pernah aku ucapkan dengan
bijaksana. Namun setiap aku lihat jumlah pembaca yang semakin hari semakin
bertambah aku sadari aku tidak sendiri, ada kalian yang kini menemani.
Kalian lah yang membuat hati ini tersenyum kembali, dari hari-hari gelap
tak bermentari, aku bukan penulis yang mengerti cara menangis itulah kenapa aku
mengukir kata-kata dengan manis, dengan harapan kalian yang kini berada
diposisi yang sama denganku terwakilkan dengan hadirnya tulisan-tulisanku,
mungkin kejadian yang kita alami berbeda, namun derita kita berada dalam rotasi
yang sama, aku ingin kalian menikmati tiap luka yang diderita hingga sampai
dalam simpul keikhlasan dan menjadi sebuah ikatan antar penikmat luka.
Belajarlah untuk berdamai dengan luka, biarkan dia hilang dengan
sendirinya, terlihat sederhana namun percayalah ini berguna!.
Bersama Ferasajiwa kita nikmati luka dan bersaudara dengannya, hingga ia
luluh dan menjadi bahagia dikemudian masa.
Sekali lagi trima kasih para pembaca, kalianlah sumber bahagia.
⸙⸎⸙
Instagram :
@ferasajiwa_
Twitter :
@ferasajiwa_
Blog : ferasajiwa.blogspot.com